![]() |
Mencari Kursi |
![]() |
Dunia Berjalan |
![]() |
Di Pinggir Lintasan |
![]() |
Menunggu.... |
![]() |
Melihat Kereta Api |
![]() |
Sahabat Lama |
![]() |
Polisi Kereta |
![]() |
Klaten |
![]() |
Jalan Pagi.... |
Suara peluit panjang melengking dari ujung peron,
Kereta Sancaka Pagi tujuan Surabaya yang telah selesai menaikkan penumpang
menyambutnya dengan bergerak perlahan meninggalkan Stasiun Tugu,
Yogyakarta Senin (26/12).
Perjalanan pun genap dimulai pada Pukul 07.15. Gemuruh
suara lokomotif dan gesekan baja boogie yang memimpin perjalanan menjadi lagu
pembuka dalam menikmati rute sepanjang 311 kilometer.
Dan kehidupan tidak hanya berjalan di dalam
gerbong. Pemeriksaan tiket, petugas yang menawarkan makna dan minuman, hingga
mimpi yang hadir bersama penumpang yang memilih menenggelamkan diri dalam tidur
nyenyaknya. Kehidupan juga hadir di luar gerbong, calon penumpang yang menunggu
kereta di setiap staisun pemberhentian, petani yang bekerja di ladang, juga
pengendara yang melintasi penggalan jalan yang kadangkala bersissian dengan
jalur kereta.
Perjalanan itu sendiri tidak hanya sebuah rutinitas
yang menghantarkan penumpang dari satu kota ke kota lainnya melainkan sebuah
perjalanan yang memberikan kesadaran kepada siapapun betapa suburnya Indonesia.
Kesuburan itulah yang telah membuat banyak bangsa lain berlomba untuk
menguasainya ratusan tahun lamannya.
Perjalanan tersebut juga menandai”keberhasilan”
anak negeri yang mampu menjaga sebuah sistem transportasi yang sudah ada sejak
jaman kolonial Belanda. Rel yang masih nyaman dilewati, wesel yang masih
berfungsi dengan semestinya, dan sistem sinyal yang bekerja dengan layak, telah hadir bersama modernisasi transpotasi
kereta api hingga saat ini.
Melintasi Klaten pemandangan Gunung Merapi dan
Merbabu di kejauhan yang serasi dengan
hamparan hijau persawahan, ladang tebu, dan tembakau telah menunggu. Petani
yang menyiangi sawahnya dan memulai
menanam padi tidak terganggu sedikitpun deru kereta yang melintas dengan terus
bekerja.
Pemadangan alam pedesaan berubah perlahan sejalan
kereta memasuk Kota Solo. Sawah dan ladang digantikan oleh rumah-rumah padat berhimpitan, serta
aktifitas warga menikmati terlihat jelas
dari balik kaca jendela.
Setelah berhenti sejenak di Stasiun Tua Solo
Balapan, kereta yang telah melewati pemeriksaan dan turun naik penumpang
kembali melaju. Melintasi sebuah jembatan yang melintang di atas Sungai
bengawan Solo untuk menuju Karanganyar. Kerta api Terus dan terus berjalan.
Pemandangan kembali berubah dengan pemandangan hijau aral perswahan.
Kereta kembali berhenti di Stasiun Madiun, hal yang
paling diingat adalah penjual pecel. Memanfaatkan kereta yang berhenti, penjual
pecel tersebut gigih menawarkan dagangannya. Teriakan dari pintu tersebutpun
memenuhi dalam gerbong.
Pada menit terakhir dari lima jam pejalanan, Kereta
api mulai memasuki Kota Surabaya. Tidak banyak yang bisa dinikmati dari
penggalan terakhir perjalanan dari
kota yang terus berkembang seraya menyusul
kemegahan Ibukota Negara. Walau di kejauhan gedung megah berdiri, rumah-rumah
kumuh di sisi kanan kiri rel memberikan jelas dampak dari sebuah modernisasi.
Perjalanan selama lima jam mengandung pesan, “Luangkan waktu sedikit untuk menjaga mata
saat perjalanan dimulai, Karena bukan tidak mungkin, tren ketidakpedulian kita
yang sedang melanda negeri ini akan mencabut keindahan tersebut selamanya dari
Indonesia...” (BAH)