Rabu, 24 Agustus 2016

Rumah Ayah














Kenangan berapaun kecilnya tetaplah kenangan. yang menjembati antara hari ini dengan masa yang telah berlalu. Seperti yang terjadi beberapa waktu lalau saat pulang kampung ke Pacitan. Untuk pertama kalinya dalam kurun 36 tahun, keluarga kami berlebaran di Kampung halaman di Pacitan. 
Aksi mudik tidak lazim tersebut merupakan hadiah dari kami untuk Ayah yang sudah berusia 70 tahun.. Bisa dibilang, ini perjalanan kembali pulang yang lengkap, Mendengar cerita tentang perjuangan hidup keluarga Ayah membangun kehidupannya. "Ayah tidak merasakan rumah ini, karena tahun 60 saat rumah kakek ditempati setelah pindah dari Banjarsari ayah sudah merantau ke Jakarta" ujar ayah. Namun pada pandangannya ia melihat keanangan akan nenek an kakek yang telah berpulang. 
Ia menceritakn tanpa sedih. Lebih tepatnya bersemangat sekali. Kenakalan-kenakalan masa sekolah, perkelahian, hingga goyangan nyiur saat ia memetik kelapa lancar ia kedepankan.
seperti bocah yang mendengar cerita Si Kancil, saya jatuh terkesima. Sedikit merupkaan cerita yang diulang, namun banyak lainnya adalah cerita yang tidak pernah saya dengar.
Ayah. Ia telah menghadirkan kekaguman tentang arti kampung halaman. Walaupun akibat kerjaan anaknya yang harus merantau ia tak pernah sekalipun memaksakan anaknya pulang saat Lebaran. "Pulangalah saat ingin Pulang..." begitu ujarnya satu kali.
Ia mengajak masuk ke rumah Kakek. Rumah dulu tempat saya sunat saat kelas IV SD. Tempat saya melihat kakek dan nenek yang begitu sayang pada anak dan cucunya yang kini telah kembali kepada Tuhan. Dan rumah tersebut tergantung foto ayah saat wisuda. Foto yang sudah buram termakan rembsan air hujan. Kini rumah tersbeut kosong dan berencana dijual. Dan lebaran kali ini, ayah bercerita sekali lagi, dan mungkin terakhir kali tentang sejarah yang tak mungkin terulah. Kelak saya hanya akan menunjuk rumah hijau muda tersebut dan berujar....."keluarga kami pernah tinggal disana".